Balas Ancam, Iran Tolak Tegas Tuntutan Trump Untuk Menyerah
Iran menentang AS & Israel soal nuklir. Kekuatan militer, peluang perang, sejarah konflik, & dukungan global diulas. Baca analisisnya!

Teheran, 19 Juni 2025 – Ketegangan antara Iran, Amerika Serikat (AS), dan Israel meningkat tajam setelah Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menolak tegas tuntutan Presiden AS Donald Trump agar Iran menyerah dalam konflik yang dipicu serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran. Dalam pidatonya di Teheran, Khamenei memperingatkan bahwa intervensi militer AS akan memicu “konsekuensi yang tidak dapat dipulihkan”. Apa yang mendorong keberanian Iran menghadapi dua kekuatan militer dunia? Apakah ini hanya gertakan atau didukung kekuatan nyata? Berikut analisis mendalam.
Kekuatan Militer Iran vs AS
Iran memiliki salah satu angkatan bersenjata terbesar di Timur Tengah, dengan anggaran pertahanan sekitar 20 miliar dolar AS pada 2024. Negara ini memiliki 600.000 personel aktif, terdiri dari 350.000 angkatan bersenjata reguler dan 250.000 anggota Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), ditambah cadangan 450.000 personel.
Kekuatan utama Iran terletak pada arsenal rudalnya, yang mencakup lebih dari 3.000 rudal balistik. Rudal hipersonik Fattah-1, yang mampu menembus sistem pertahanan udara seperti Iron Dome milik Israel, menjadi andalan. Sejak konflik dengan Israel meletus pada 13 Juni 2025, Iran telah meluncurkan 400 rudal, 40 di antaranya menembus pertahanan Israel, menyebabkan 24 kematian warga sipil.
“Iran telah mengembangkan kemampuan rudal yang sangat canggih, memungkinkan kami untuk menyerang target dengan presisi tinggi dari jarak ribuan kilometer,” kata Jenderal Hossein Salami, Komandan IRGC, dalam wawancara dengan Press TV pada 18 Juni 2025.
Iran juga memiliki armada drone canggih seperti Shahed-136, yang efektif dalam serangan presisi. Namun, angkatan udara Iran, yang mengandalkan jet era 1970-an seperti F-14 Tomcat, jauh tertinggal dibandingkan jet siluman F-35 milik AS. Sanksi ekonomi selama beberapa dekade juga membatasi modernisasi militer Iran.
Meski demikian, strategi perang asimetris Iran, yang memanfaatkan rudal, drone, dan proksi seperti Hizbullah, memberikan keunggulan dalam konflik regional. “Keberanian Iran bukan sekadar retorika, tetapi berbasis pada kemampuan untuk membuat musuh membayar mahal,” ujar Dr. Reza Ghaffari, analis militer dari Universitas Teheran, kepada Al Jazeera pada 17 Juni 2025.
Iran vs. AS Perang, Siapa yang Bakal Menang?
Dalam skenario perang konvensional, peluang Iran mengalahkan AS sangat kecil. AS memiliki anggaran pertahanan lebih dari 800 miliar dolar AS pada 2024, armada kapal induk terbesar, dan teknologi militer mutakhir. Pangkalan AS di Qatar dan Bahrain memungkinkan serangan cepat ke wilayah Iran.
Namun, Iran unggul dalam perang asimetris. Dengan mengganggu Teluk Persia, Iran dapat memicu krisis energi global, mengingat 20% pasokan minyak dunia melewati jalur ini. Proksi Iran, seperti Hizbullah dan Houthi, dapat menyerang kepentingan AS di Timur Tengah.
“Jika AS menyerang Iran, kami akan menutup Selat Hormuz dan membuat dunia merasakan konsekuensinya,” ancam Menteri Pertahanan Iran, Brigjen Mohammad Reza Ashtiani, dalam pidato di Teheran pada 16 Juni 2025.
Medan perang Iran, yang didominasi pegunungan dan kota-kota padat, menyulitkan invasi darat AS, sebagaimana terlihat dalam perang Irak dan Afghanistan. Laporan intelijen AS menyebutkan Iran membutuhkan tiga tahun untuk mengembangkan senjata nuklir, meskipun fasilitasnya rusak akibat serangan Israel. Jika Iran mempercepat program nuklirnya, dinamika konflik dapat berubah drastis.
“Perang dengan Iran akan mahal bagi AS, bukan hanya dalam hal militer, tetapi juga ekonomi dan politik global,” kata Prof. John Mearsheimer, pakar hubungan internasional dari Universitas Chicago, dalam wawancara dengan CNN pada 18 Juni 2025.
Sejarah Konflik Iran-AS
Konflik Iran-AS berawal dari Revolusi Islam 1979, yang menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi, sekutu AS. Krisis penyanderaan kedutaan AS di Teheran (1979–1981), di mana 52 warga AS disandera selama 444 hari, menjadi titik awal ketegangan modern. AS memutuskan hubungan diplomatik dan memberlakukan sanksi ekonomi.
Pada 1980-an, AS mendukung Irak dalam Perang Iran-Irak (1980–1988), yang menewaskan lebih dari satu juta orang. Pada 1988, USS Vincennes menembak jatuh pesawat Iran Air 655, menewaskan 290 penumpang, yang dianggap Iran sebagai tindakan sengaja.
Ketegangan meningkat pada 2000-an karena program nuklir Iran. Kesepakatan nuklir JCPOA pada 2015 sempat meredakan situasi, tetapi Trump menarik AS dari kesepakatan itu pada 2018. Pembunuhan komandan IRGC Qassem Soleimani oleh AS pada 2020 hampir memicu perang terbuka.
“Kami tidak akan pernah melupakan pengkhianatan AS terhadap JCPOA. Mereka tidak bisa dipercaya,” tegas Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian dalam konferensi pers di Moskow pada 15 Juni 2025.
Dukungan Internasional untuk Iran dan AS
AS memiliki aliansi kuat dengan NATO, Israel, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk. Posisi AS sebagai kekuatan global dengan veto di Dewan Keamanan PBB memperkuat dukungan ini. Namun, retorika agresif Trump telah mengurangi simpati dari sekutu Eropa, yang lebih mendukung diplomasi.
Iran didukung oleh Rusia, Tiongkok, dan kelompok non-negara seperti Hizbullah. Rusia memberikan dukungan intelijen dan teknologi militer, sementara Tiongkok, sebagai pembeli minyak Iran, memiliki kepentingan ekonomi untuk mendukung Teheran secara terbatas.
“Kami mendukung kedaulatan Iran dan menentang intervensi asing,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Lin Jian dalam jumpa pers di Beijing pada 17 Juni 2025.
Negara netral seperti India dan Turki menghindari dukungan eksplisit, memilih diplomasi. AS memiliki dukungan lebih luas karena dominasi geopolitiknya, tetapi Iran mendapat simpati dari negara-negara yang menentang hegemoni AS, terutama di Organisasi Kerja Sama Shanghai.
What's Your Reaction?






