Donald Trump Tampil Cosplay Sebagai Paus: Hasil AI Ini Hebohkan Media Sosial

Washington D.C., 7 Mei 2025 — Dunia maya kembali dibuat gempar setelah beredarnya gambar mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang tampil mengenakan pakaian lengkap ala Paus Vatikan.
Gambar yang viral tersebut ternyata bukan hasil jepretan kamera paparazzi, melainkan hasil rekayasa kecerdasan buatan (AI) yang sangat realistis.
Dalam gambar tersebut, Trump terlihat mengenakan jubah putih lengkap dengan mitra (mahkota khas Paus), salib emas besar, dan ekspresi tenang yang jarang terlihat dari dirinya.
Gambar ini pertama kali muncul di platform media sosial Reddit dan X (dulu Twitter), dan dengan cepat menyebar ke berbagai belahan dunia.
Netizen langsung bereaksi, sebagian besar dengan gelak tawa dan kebingungan. Banyak yang awalnya mengira gambar tersebut asli, hingga akhirnya diketahui bahwa gambar itu dibuat menggunakan teknologi AI generatif seperti Mijourney atau DALLE.
"Ini gila. Saya hampir percaya Trump benar-benar jadi Paus," tulis salah satu pengguna X. Sementara yang lain bercanda, "Paus Trump pertama yang membangun tembok di Vatikan?"
Munculnya gambar ini kembali memunculkan kekhawatiran soal potensi penyalahgunaan teknologi AI untuk menyebarkan disinformasi, apalagi menjelang tahun-tahun politik penting di Amerika Serikat. Meski kali ini sifatnya parodi dan jelas tidak nyata, para ahli mengingatkan bahwa tidak semua konten AI semudah itu dikenali.
Sementara itu, kubu Trump belum memberikan komentar resmi terkait gambar tersebut. Namun mengingat riwayat Trump yang kerap menjadi sasaran meme dan parodi, besar kemungkinan ia akan mengomentarinya dengan gaya khasnya — atau bahkan mengklaim bahwa gambar itu menunjukkan "respek dunia" terhadapnya.
Heboh Donald Trump Berkostum Paus: Gaya AI Bikin Geger, Satire atau Pelecehan Agama?
Jagat maya kembali terguncang setelah Donald Trump, mantan Presiden Amerika Serikat, mempublikasikan sebuah gambar dirinya mengenakan kostum Paus Katolik lengkap — hasil manipulasi visual dengan bantuan kecerdasan buatan (AI). Dengan jubah putih, mitra megah di kepala, dan salib emas menggantung di dada, Trump tampil bak pemimpin tertinggi Vatikan.
Yang mengejutkan: gambar itu ia unggah sendiri ke akun resmi X (dulu Twitter) miliknya dengan caption singkat, “Spiritual leadership, anyone?”
AI Pic—Too Real to Be Fake
Gambar itu bukan hasil photoshoot sungguhan, melainkan hasil rekayasa AI generatif. Meski Trump tidak menyebutkan aplikasi yang digunakan, para pengguna teknologi mengenali gaya visual khas dari model seperti Mijourney, DALL·E, dan Stable Diffusion, yang memang mampu menghasilkan gambar hiper-realistis hanya dari deskripsi teks.
“AI sekarang bisa bikin gambar yang lebih meyakinkan daripada kamera profesional,” kata Caleb Moreton, seorang pakar AI visual dari MIT. “Kita masuk era di mana visual bukan lagi bukti kebenaran.”
Heboh dan Guncang di Banyak Level
Publikasi gambar tersebut langsung menciptakan gelombang kehebohan global. Banyak yang menganggap itu sebagai lelucon atau satir politik. Tapi tidak sedikit pula yang mempertanyakan sensitivitasnya terhadap agama.
“Trump berdandan sebagai Paus, lalu menyebarkannya sebagai simbol kekuasaan spiritual? Ini tidak lucu. Ini pelecehan simbol suci,” tulis seorang pengguna X yang mengaku Katolik taat.
Namun sejumlah ahli teologi punya pandangan berbeda. “Kalau gambar itu dibuat sebagai parodi politik, bukan untuk menyerang ajaran agama Katolik, maka tidak serta-merta disebut penistaan,” jelas Dr. Benediktus Lumban Tobing, dosen filsafat agama dari Universitas Katolik Parahyangan. “Tapi memang, batas antara satire dan pelecehan kadang tipis, tergantung konteks dan penerimaan publik.”
Artikel Terkait: Ancaman Perang Nuklir dalam Konflik India-Pakistan
Respons Netizen Indonesia: Campur Aduk
Di Indonesia, gambar Trump-Paus itu juga viral di berbagai platform seperti Instagram dan TikTok. Respons warganet sangat beragam — dari yang tertawa geli, sampai yang merasa tidak nyaman.
“Wkwk Paus Trump, tinggal kasih salib LED RGB biar makin futuristik,” canda seorang pengguna Tik Tok asal Jakarta. Sementara akun lain berkomentar serius, “Ini sudah masuk penistaan, kok banyak yang anggap lucu?”
Namun sebagian pengguna Indonesia justru lebih fokus pada kecanggihan teknologi yang digunakan. Banyak yang bertanya-tanya, “Ini editan pakai aplikasi apa sih?” atau “AI sekarang segila ini ya?”
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat makin penasaran — dan waspada — terhadap potensi manipulasi visual lewat AI.
Teknologi di Balik Gambar Trump-Paus
Gambar semacam ini kemungkinan dibuat dengan teknologi text-to-image berbasis AI, yang memungkinkan siapa saja membuat gambar dari deskripsi teks. Beberapa platform populer yang dapat menghasilkan gambar seperti ini antara lain:
- Mijourney – Populer untuk menghasilkan visual artistik dan dramatis.
- DALL·E (oleh OpenAI) – Terintegrasi dalam beberapa platform besar dan terkenal akurat mereplikasi gaya realistis.
- Stable Diffusion – Open-source dan banyak digunakan karena fleksibilitas dan hasil yang realistis.
- Runway – Cocok untuk editing video dan gambar berbasis AI, banyak dipakai kreator konten.
Teknologi ini semakin mudah diakses, artinya siapa pun kini bisa membuat gambar yang meyakinkan tanpa keahlian desain.
Satire Politik atau Simbol Bahaya Baru?
Trump sendiri dikenal gemar memprovokasi dan menciptakan narasi kontroversial. Tapi kali ini, dengan masuknya unsur keagamaan, reaksi yang muncul jauh lebih sensitif. Meski tidak ada niat eksplisit menyerang Vatikan atau ajaran Katolik, penggunaan AI untuk menggambarkan diri sebagai pemimpin spiritual tertinggi tentu bukan tanpa resiko politik dan budaya.
“Ini momen penting untuk membahas etika penggunaan AI visual,” kata Morton. “Apakah semua hal boleh dijadikan bahan kreativitas, bahkan yang menyangkut simbol suci?”
Fenomena Trump sebagai Paus bukan hanya soal gambar unik atau kontroversi semata. Ini menyoroti dunia baru di mana batas antara kenyataan, satire, dan provokasi makin kabur dan publik dituntut makin cermat dalam membaca makna di balik sebuah gambar.
Apakah ini hanya lelucon politik? Atau isyarat kekacauan etika baru di era digital?
What's Your Reaction?






