Trump Larang Warga 12 Negara Masuk AS, Termasuk Tetangga Indonesia
Trump larang warga dari 12 negara masuk AS, termasuk Myanmar. Kebijakan ini picu kecaman global dan kekhawatiran di kawasan ASEAN.

Washington DC – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menggemparkan dunia dengan kebijakan kontroversialnya. Pada Rabu malam (4/6/2025), Trump menandatangani perintah eksekutif yang melarang masuknya warga dari 12 negara ke Amerika Serikat, salah satunya Burma (Myanmar), yang berbatasan dengan Indonesia. Kebijakan ini, yang diklaim untuk memperkuat keamanan nasional, langsung menuai kritik keras dari berbagai pihak.
Perintah eksekutif tersebut mencakup larangan penuh terhadap warga dari 12 negara berikut: Afghanistan, Burma (Myanmar), Chad, Eritrea, Guinea Khatulistiwa, Haiti, Iran, Kongo, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman. Larangan ini berlaku untuk semua jenis masuk, baik untuk imigrasi permanen maupun kunjungan sementara seperti wisata, studi, atau bisnis. Myanmar yang berada dekat dengan wilayah Indonesia melalui perairan Kepulauan Andaman dan Nikobar, kini menjadi perhatian utama di lingkup ASEAN.
Alasan di Balik Kebijakan
Gedung Putih menyatakan bahwa kebijakan ini diberlakukan untuk melindungi AS dari ancaman terorisme dan ketidakstabilan politik yang berasal dari negara-negara tersebut. “Kami tidak akan mengambil risiko terhadap keselamatan rakyat Amerika. Negara-negara ini gagal memenuhi standar keamanan kami,” tegas Trump dalam konferensi pers di Washington, seperti dikutip CNN Indonesia.
Namun, kebijakan ini memicu reaksi beragam. Aktivis hak asasi manusia dan beberapa anggota Kongres AS menilai larangan ini diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. “Ini adalah kebijakan yang memecah belah dan merusak hubungan internasional,” ujar Senator Elizabeth Warren dari Partai Demokrat, sebagaimana dilansir @alisyarief di platform X.
Dampak di Indonesia dan ASEAN
Di Indonesia, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap hubungan diplomatik dan stabilitas kawasan ASEAN. Seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Indonesia, yang meminta namanya dirahasiakan, mengungkapkan bahwa pemerintah sedang mengevaluasi implikasi kebijakan ini. “Kami berharap ini tidak mengganggu kerja sama ASEAN, terutama dengan Myanmar sebagai anggota,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta.
Masyarakat Indonesia juga turut bereaksi. Seorang pedagang di Medan, Sumatera Utara, bernama Rudi Hartono, menyatakan kekhawatirannya. “Myanmar itu tetangga dekat. Kalau AS buat aturan begini, apa nanti perdagangan kita di perbatasan juga kena imbas?” ujar Rudi, 52 tahun, saat ditemui di pasar lokal.
Di Myanmar, kebijakan ini berdampak langsung pada warga yang memiliki rencana ke AS. Seorang mahasiswa dari Yangon, Aye Myint, mengeluhkan ketidakpastian visa studinya. “Saya sudah diterima di universitas di Boston, tapi sekarang impian saya terancam,” katanya kepada media lokal, seperti dikutip CNBC Indonesia.
Kritik dan Tantangan Hukum
Langkah ini mengingatkan pada larangan perjalanan kontroversial yang diberlakukan Trump pada 2017 dan sempat memicu gugatan hingga Mahkamah Agung AS. Menurut Anna Gallagher, pakar hukum imigrasi dari Universitas Georgetown, kebijakan terbaru ini kemungkinan besar juga akan menghadapi perlawanan hukum yang serupa. “Kebijakan ini rentan digugat karena berpotensi melanggar prinsip kesetaraan di bawah konstitusi,” ujar Gallagher, seperti dilansir CNBC Indonesia.
Di kancah internasional, kebijakan ini menuai kecaman dari berbagai negara yang terdampak. Menteri Luar Negeri Iran, misalnya, mengecam keputusan tersebut sebagai “tindakan rasis yang merusak hubungan bilateral,” menurut unggahan akun @RahehalTV di X. Sementara itu, PBB menyatakan keprihatinannya terhadap dampak kemanusiaan, khususnya bagi pengungsi asal Somalia, Haiti, dan Yaman.
Implikasi dan Langkah Selanjutnya
Larangan ini diprediksi berdampak pada berbagai sektor, mulai dari pendidikan dan bisnis hingga hubungan diplomatik. Ribuan pelajar, pekerja, dan pengungsi dari 12 negara terdampak kini menghadapi ketidakpastian. Meskipun Gedung Putih menyatakan ada pengecualian untuk alasan kemanusiaan atau medis, proses permohonannya diperkirakan akan sangat selektif dan ketat.
Sebagai salah satu pemimpin aktif di ASEAN, Indonesia kemungkinan akan mendorong dialog untuk meredam dampak kebijakan ini terhadap stabilitas kawasan. Sementara itu, komunitas internasional menantikan respons lanjutan dari negara-negara terdampak, termasuk potensi tindakan balasan atau langkah hukum di forum global.
Situasi ini akan terus dipantau, terutama kemungkinan gugatan hukum di AS serta tanggapan resmi dari pemerintah Indonesia dan Myanmar.
What's Your Reaction?






