Ancam Keindahan Raja Ampat, Pemerintah Hentikan Sementara Operasi PT Gag Nikel
Raja Ampat, 10 Juni 2025 – Aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, memicu kontroversi besar setelah masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan DPR menyoroti ancaman kerusakan ekosistem laut dan daratan di kawasan yang dikenal sebagai destinasi wisata konservasi dunia. Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), resmi menghentikan sementara operasi PT Gag Nikel per 5 Juni 2025 untuk verifikasi lapangan, menyusul desakan publik yang kian masif.

Jakarta, 10 Juni 2025 - Penambangan yang dilakukan PT Gag Nikel, anak usaha BUMN PT Antam Tbk, berlangsung di Pulau Gag, Kawe, Manuran, dan beberapa pulau kecil lainnya. Aktivitas ini dituding mencemari kawasan konservasi laut Raja Ampat, yang menyimpan 75% spesies terumbu karang dunia dan lebih dari 1.600 spesies ikan. “Hutan seluas lebih dari 500 hektare telah rusak, dan sedimentasi dari tambang mengancam kehidupan laut, termasuk di Piaynemo yang ikonik,” ujar Marcellus Hakeng Jayawibawa, aktivis lingkungan setempat, kepada *Kompas.id*. Ia menambahkan, jalur logistik tambang ke fasilitas smelter berisiko memperparah kerusakan lingkungan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, dalam keterangannya kepada *MetroTV News*, menyatakan bahwa pihaknya akan meninjau langsung lokasi tambang untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi. “Kami temukan lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat, tetapi hanya PT Gag Nikel yang aktif sejak 2018 dengan IUP sejak 2017. Kami hentikan sementara untuk evaluasi,” ungkap Bahlil. Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq menegaskan perlunya menentukan prioritas Raja Ampat, apakah sebagai destinasi wisata atau kawasan pertambangan.
Desakan untuk mencabut izin tambang secara permanen menggema di DPR. Anggota Komisi IV DPR Daniel Johan menilai operasi tambang melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Raja Ampat adalah warisan dunia, bukan tempat untuk tambang yang merusak. Pemerintah harus investigasi menyeluruh soal izin ini,” tegasnya, sebagaimana dikutip *CNN Indonesia*. Senada, Greenpeace Indonesia melalui kampanye #SaveRajaAmpat mendesak penghentian total aktivitas tambang, menyebut kerusakan lingkungan sebagai “ancaman global” bagi status Raja Ampat sebagai UNESCO Global Geopark.
Masyarakat adat dan pelaku wisata lokal turut menyuarakan keprihatinan. “Kami hidup dari pariwisata dan laut. Kalau terumbu karang rusak, pendapatan kami hilang,” ujar Yosua, seorang pemandu wisata di Desa Arborek, kepada *Tempo.co*. Data dari Kementerian Pariwisata menunjukkan Raja Ampat menyumbang Rp150 miliar per tahun dari 30.000 wisatawan (70% mancanegara) pada 2024. Aktivitas tambang berpotensi memangkas pendapatan hingga 60%, mengancam mata pencaharian ribuan warga.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, melalui Menteri Widiyanti Putri Wardhana, menegaskan dukungan untuk mengevaluasi izin tambang demi melindungi ekosistem dan situs bersejarah. Sementara itu, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengumumkan penghentian penerbitan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) baru di Raja Ampat. Presiden Prabowo Subianto disebut memberikan perhatian khusus pada isu ini, meski belum ada pernyataan resmi dari Istana.
PT Gag Nikel sendiri mengklaim telah memenuhi regulasi, termasuk memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Namun, klaim ini tidak meredam kritik publik yang terus menuntut transparansi dan perlindungan Raja Ampat. Verifikasi lapangan yang dijadwalkan dalam waktu dekat akan menjadi penentu nasib tambang nikel di kawasan ini. Akankah Raja Ampat tetap menjadi “surga terakhir di bumi” atau justru terkorbankan demi hilirisasi nikel?
What's Your Reaction?






