Konflik Thailand-Kamboja Memanas, 19 Tewas
Konflik Thailand-Kamboja memanas di perbatasan, tewaskan 19 orang akibat sengketa Kuil Preah Vihear. Indonesia serukan perdamaian via ASEAN, pastikan 15 WNI aman. Baca update eskalasi, respons diplomatik, dan tanggapan netizen Indonesia.

Jakarta, 26 Juli 2025 – Konflik bersenjata di perbatasan Thailand dan Kamboja memasuki hari ketiga pada Sabtu (26/7), dengan laporan terbaru menyebutkan sedikitnya 19 orang tewas, termasuk 13 warga sipil dan enam tentara Thailand, serta satu warga Kamboja. Eskalasi ini, yang dipicu oleh sengketa wilayah di sekitar Kuil Preah Vihear dan Prasat Ta Muen Thom, telah menyebabkan lebih dari 150.000 warga dari kedua negara mengungsi.
Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu), menyerukan penyelesaian damai sesuai prinsip ASEAN, sementara 15 Warga Negara Indonesia (WNI) di wilayah perbatasan dilaporkan aman.
Eskalasi Militer dan Dampak Kemanusiaan
Bentrokan dimulai pada Kamis (24/7) pagi di wilayah perbatasan antara Provinsi Preah Vihear (Kamboja) dan Provinsi Ubon Ratchathani serta Surin (Thailand). Thailand mengerahkan jet tempur F-16 untuk melancarkan serangan udara ke tujuh lokasi di Kamboja, sementara Kamboja membalas dengan roket jarak jauh dan artileri berat.
Kamboja menuduh Thailand merusak Kuil Preah Vihear, situs Warisan Dunia UNESCO, dengan serangan udara, meskipun Thailand membantah tuduhan tersebut. "Klaim bahwa serangan kami merusak Kuil Preah Vihear adalah distorsi fakta," kata juru bicara Angkatan Darat Thailand, Kolonel Richa Suksuwanont, dalam pernyataan resmi pada Jumat (25/7).
Di sisi lain, Kementerian Pertahanan Kamboja menyebut serangan Thailand sebagai "agresi militer yang brutal" dan menyatakan bahwa pasukan mereka "berhak membela diri dengan segala cara untuk melindungi kedaulatan nasional." Konflik ini telah memaksa lebih dari 138.000 warga Thailand dan 20.000 warga Kamboja mengungsi ke tempat penampungan sementara. Di Thailand, hukum darurat militer diberlakukan di delapan distrik perbatasan, termasuk Chanthaburi dan Trat.
Latar Belakang Sejarah Konflik
Sengketa perbatasan ini berakar dari Perjanjian Franco-Siam 1907, yang menetapkan garis batas berdasarkan peta kolonial Prancis. Kuil Preah Vihear, situs Hindu abad ke-11, menjadi pusat konflik setelah Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan pada 1962 bahwa kuil tersebut berada di wilayah Kamboja.
Namun, wilayah sekitar kuil, termasuk 4,6 km² lahan, tetap dipersengketakan. Ketegangan meningkat pada 2008 ketika UNESCO menetapkan kuil sebagai Situs Warisan Dunia, memicu bentrokan bersenjata hingga 2011. Insiden terbaru dipicu oleh aksi militer Thailand yang memblokir akses Kamboja ke Prasat Ta Muen Thom pada Februari 2025, diikuti oleh ledakan ranjau darat pada Juli yang melukai enam tentara Thailand.
"Pusat konflik ini adalah nasionalisme yang membara dan interpretasi berbeda atas peta kolonial. Tanpa mediasi yang kuat, eskalasi seperti ini akan terus berulang," kata Dr. Siti Rahmah, pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, kepada tim redaksi pada Sabtu (26/7).
Respons Indonesia dan Keselamatan WNI
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengeluarkan pernyataan pada Jumat (25/7) yang menyerukan kedua belah pihak untuk kembali ke meja perundingan. "Kami percaya Thailand dan Kamboja memiliki komitmen untuk menyelesaikan konflik melalui cara damai sesuai semangat ASEAN," ujar juru bicara Kemlu, Dr. Rolliansyah Soemirat.
Kemlu juga memastikan bahwa 15 WNI yang tinggal di wilayah perbatasan, khususnya di Provinsi Trat dan Sa Kaeo, dalam kondisi aman. "KBRI Bangkok terus memantau situasi dan mengimbau WNI untuk melapor diri melalui portal Peduli WNI," tambahnya.
KBRI Bangkok telah menyediakan nomor hotline (+66 92-903-1103) dan KBRI Phnom Penh (+855 12 813 282) untuk WNI yang membutuhkan bantuan. Hingga saat ini, tidak ada laporan WNI yang terdampak langsung oleh konflik.
Reaksi Dunia dan Upaya Diplomasi
Konflik ini telah menarik perhatian internasional. Amerika Serikat, sekutu perjanjian Thailand, menyerukan penghentian segera permusuhan. "Kami sangat prihatin dengan eskalasi kekerasan dan mendesak perlindungan terhadap warga sipil," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tommy Pigott, dalam konferensi pers pada Jumat (25/7).
Tiongkok, mitra dagang utama kedua negara, menawarkan peran mediasi, sementara Malaysia, sebagai ketua ASEAN saat ini, mengusulkan gencatan senjata yang mendapat dukungan awal dari Kamboja namun ditolak Thailand. Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, menyatakan, "Kami siap memfasilitasi dialog demi stabilitas kawasan."
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dijadwalkan mengadakan rapat darurat pada Sabtu (26/7) untuk membahas krisis ini setelah surat dari Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, yang menuduh Thailand melakukan "agresi tak beralasan."
Tanggapan Netizen Indonesia di Media Sosial
Berdasarkan pantauan di platform X hingga Sabtu (26/7) pukul 10:00 WIB, netizen Indonesia menunjukkan beragam tanggapan terhadap konflik ini. Sebagian menyampaikan sentimen positif, memuji upaya diplomasi Indonesia dan ASEAN dalam mendorong perdamaian. Banyak netizen mengapresiasi seruan Kemlu untuk dialog damai, dengan beberapa di antaranya menyoroti pentingnya solidaritas ASEAN.
Seorang pengguna menulis bahwa Indonesia harus terus memimpin mediasi untuk mencegah eskalasi lebih lanjut, sementara yang lain memuji kerja KBRI dalam memastikan keselamatan WNI. Sentimen ini mencerminkan harapan akan solusi damai dan kebanggaan terhadap peran aktif Indonesia di kawasan.
Sebaliknya, sejumlah netizen Indonesia mengungkapkan sentimen negatif, terutama kekhawatiran atas dampak konflik terhadap stabilitas regional dan keselamatan warga sipil. Beberapa mengkritik kedua negara karena membiarkan sengketa sejarah memicu kekerasan, dengan seorang pengguna menyebut konflik ini sebagai "pertikaian sia-sia yang merugikan rakyat kecil."
Ada pula yang menyayangkan kurangnya komunikasi antara Thailand dan Kamboja, dengan beberapa netizen mengungkapkan ketakutan bahwa konflik ini dapat menyeret ASEAN ke dalam ketidakstabilan lebih luas. Sentimen ini menunjukkan keresahan atas eskalasi militer dan dampak kemanusiaan.
Kemlu Siap Evakuasi WNI Jika Situasi Memburuk
Eskalasi ini merupakan yang terparah sejak konflik 2008-2011, yang menewaskan lebih dari 20 orang. Dengan penolakan Thailand terhadap mediasi pihak ketiga dan pengerahan senjata berat oleh kedua belah pihak, risiko perang terbuka semakin nyata. Namun, tekanan dari ASEAN, PBB, dan komunitas internasional dapat menjadi katalis untuk dialog bilateral. "Kunci penyelesaian adalah komitmen kedua negara untuk menghormati putusan ICJ dan membuka saluran komunikasi," kata Dr. Siti Rahmah.
Bagi WNI di wilayah perbatasan, Kemlu menegaskan bahwa evakuasi akan dilakukan jika situasi memburuk. Masyarakat diimbau untuk mengikuti perkembangan melalui saluran resmi KBRI dan menghindari perjalanan ke wilayah konflik seperti Preah Vihear, Ta Muen Thom, dan Ta Krabey.
What's Your Reaction?






