Meme Prabowo-Jokowi, Sekadar Hiburan atau Senjata Politik?

Jakarta, 10 Mei 2025 – Di tengah dinamika politik Indonesia, meme tentang Presiden ke-8 Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) terus menjadi sorotan di media sosial.
Dari gambar “makan bakso bareng” hingga montase jenaka tentang “cawe-cawe,” meme-meme ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memicu pertanyaan: apakah sekadar candaan ringan atau alat politik yang ampuh?
Fenomena ini mencerminkan bagaimana netizen memaknai hubungan dua tokoh besar ini, sekaligus menggambarkan polarisasi dan kreativitas digital di tengah iklim politik yang sensitif.
Dari Rivalitas ke “Kemesraan”
Meme Prabowo-Jokowi telah menjadi bagian dari lanskap politik Indonesia sejak keduanya bersaing dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
Saat itu, meme seperti “Saya minta puasa diulang, lebaran ditunda” yang menyindir penolakan Prabowo terhadap hasil pilpres menjadi viral. Namun, setelah rekonsiliasi pada 2019, ketika Prabowo bergabung sebagai Menteri Pertahanan di kabinet Jokowi, narasi meme berubah.
Gambar mereka makan bakso bersama atau naik mobil golf dalam acara peluncuran Danantara pada Februari 2025 menjadi bahan candaan yang menggambarkan “kemesraan” politik.
“Meme itu seperti cermin masyarakat. Dulu menyoroti konflik, sekarang lebih ke guyonan soal keakraban mereka,” ujar Dedi Kurniawan, pengamat media sosial dari Universitas Indonesia.
Menurutnya, meme mencerminkan perubahan persepsi publik, dari melihat Prabowo-Jokowi sebagai rival menjadi mitra politik.
Artikel Terkait: Ahmad Dhani Divonis Langgar Kode Etik DPR, Disanksi Teguran dan Wajib Minta Maaf
Meme sebagai Senjata Politik
Meski sering dianggap hiburan, meme juga memiliki potensi sebagai alat politik. Pada Pilpres 2019, meme seperti “Cukup jadi kepala keluarga aja!” untuk Jokowi dan “Jadi kepala negara” untuk Prabowo, yang terkait dengan kampanye #21HariLagiCoblosPrabowo, menunjukkan bagaimana meme digunakan untuk memengaruhi opini publik.
Penelitian dari Universitas Multimedia Nusantara (2019) mengungkap bahwa mahasiswa cenderung memaknai meme secara dominan, sering kali tanpa mengkritisi subjektivitasnya, sehingga meme dapat membentuk persepsi tanpa disadari.
Baru-baru ini, tuduhan “cawe-cawe” Jokowi dalam pemerintahan Prabowo memicu gelombang meme baru. Salah satu meme populer di platform X menampilkan karikatur Jokowi “mengintip” dari balik kursi presiden Prabowo, disertai tulisan “Masih cawe-cawe, Pak?”
Meme ini merujuk pada ucapan kontroversial Prabowo “ndasmu” saat menanggapi kritik tentang pengaruh Jokowi, yang sempat viral pada April 2025. “Meme seperti ini bukan cuma lucu, tapi juga kritik halus terhadap dinamika kekuasaan,” kata Rina, seorang pegawai swasta yang aktif di X.
Kontroversi dan Sensitivitas Hukum
Namun, tidak semua meme berakhir dengan tawa. Kasus penangkapan mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS pada 9 Mei 2025 menjadi bukti. SSS ditahan karena diduga membuat meme yang menampilkan wajah mirip Prabowo dan Jokowi dalam posisi berciuman, yang dianggap merendahkan.
Ia dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Kami mendukung langkah hukum ini untuk menjaga martabat tokoh negara,” ujar koordinator Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP), seperti dikutip dari suara.com.
Kasus ini mengingatkan pada insiden serupa yang menimpa Roy Suryo pada 2022, yang dipenjara karena meme stupa Candi Borobudur yang diedit menyerupai wajah Jokowi.
“UU ITE sering jadi alat untuk membungkam kreativitas, tapi di sisi lain, ada batas etika yang harus dijaga,” ungkap Andi, seorang kreator konten di Jakarta. Menurutnya, pembuat meme kini harus lebih berhati-hati, terutama jika menyangkut tokoh publik.
Hiburan atau Polarisasi?
Meme Prabowo-Jokowi memang menghibur, tetapi juga berpotensi memperkuat polarisasi. Di platform X, sentimen netizen terbagi, sebagian menikmati meme sebagai candaan, sementara yang lain menganggapnya sebagai serangan terhadap tokoh yang mereka dukung. “Saya suka meme yang lucu, tapi kalau sudah menghina, itu keterlaluan,” ujar Budi, seorang pedagang di Pasar Senen, Jakarta.
Dedi Kurniawan menambahkan, “Meme bisa jadi soft power dalam politik, tapi juga pedang bermata dua. Mereka membentuk opini, tapi juga memicu konflik jika tidak dikelola dengan bijak.” Ia menyarankan agar netizen dan kreator memahami konteks budaya dan hukum sebelum menyebarkan meme.
“Meme adalah bahasa anak muda. Selama ada politik, akan ada meme. Tapi kita harus lebih cerdas menggunakannya,” tutup Andi.
What's Your Reaction?






