Sistem Syarikah Haji 2025 Picu Pemisahan Jemaah, Indonesia Jadi Sorotan

Jakarta, Alltodays.com, – Sistem syarikah, mekanisme pelayanan haji terbaru dari Arab Saudi, memicu kehebohan setelah menyebabkan ribuan jemaah haji Indonesia terpisah dari keluarga, termasuk pasangan suami-istri, anak dari orang tua, dan lansia dari pendamping.
Polemik ini, yang awalnya dituding sebagai kebijakan Saudi, ternyata berakar dari kesalahan operasional delapan perusahaan travel haji Indonesia, menyoroti kerumitan koordinasi dalam sistem baru ini.
Sistem syarikah dirancang untuk meningkatkan kenyamanan jemaah dengan menyerahkan pengelolaan akomodasi, transportasi, dan kebutuhan lain di Makkah dan Madinah kepada perusahaan berlisensi dari Kementerian Haji dan Umrah Saudi.
Menggantikan model lama seperti Muassasah Asia Tenggara, sistem ini mulai diuji coba pada 2023 dan diterapkan sepenuhnya pada musim haji 2025, mencakup 241.000 jemaah Indonesia, sebagaimana diumumkan akun X resmi @Kemenag_RI pada 12 Mei lalu.
Namun, euforia efisiensi berubah menjadi keluhan ketika jemaah mendapati diri mereka ditempatkan di hotel berbeda dari mahram, memicu kekacauan emosional dan logistik.
Artikel Terkait: Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara Hancur Akibat Serangan Militer Israel
Isu ini pertama kali mencuat pada 12 Mei, ketika akun X @AzwarNasution12 mengeluhkan kekacauan akibat sistem syarikah, menyoroti jemaah yang terpisah dari kloter atau keluarga karena perizinan perusahaan berbeda.
Dua hari kemudian, @rmbantencom menggambarkan penderitaan jemaah dengan narasi dramatis tentang suami-istri yang terpisah dan lansia tanpa pendamping, mendesak Kementerian Agama bertindak.
SINDOnews melaporkan bahwa kloter campuran menjadi pusat masalah, dengan lansia dan disabilitas paling terdampak, memperparah situasi yang sudah tegang.
Dr. Mohammed Abdul Rahman, Direktur Jenderal Haji Saudi, dalam wawancara dengan Al Arabiya pada 15 Mei, menegaskan: “Pemisahan bukan kebijakan kami, tapi akibat ketidaksesuaian data dari penyelenggara Indonesia.”
Ia menuding delapan perusahaan travel Indonesia yang gagal menyinkronkan visa dan manifes, menyebabkan jemaah dari kloter sama dialokasikan ke hotel berbeda oleh syarikah.
Ketua Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, Muchlis Hanafi, dalam pernyataan kepada Kompas pada 16 Mei, mengakui: “Kesalahan input oleh travel lokal memisahkan jemaah, diperparah oleh perubahan data mendadak.” Ia menyoroti lemahnya koordinasi sebagai akar masalah.
Meski sistem syarikah diterapkan untuk semua jemaah haji dunia, masalah pemisahan paling mencolok dialami Indonesia karena jumlah jemaahnya yang besar dan ketergantungan pada banyak penyedia layanan swasta. Al Jazeera pada 17 Mei melaporkan keluhan serupa dari jemaah Pakistan, namun dalam skala kecil, sementara negara dengan sistem terpusat seperti Malaysia dilaporkan minim masalah. Analis haji Dr. Ahmad Qureshi mengatakan bahwa koordinasi longgar menjadi biang keladi, membuat Indonesia paling rentan dalam transisi ke sistem syarikah.
Penanganan masalah ini bergerak cepat. Pada 18 Mei, PPIH menerbitkan edaran yang mengatur penggabungan jemaah dalam 24 jam sejak kedatangan, didukung hotel khusus untuk memfasilitasi proses. Muchlis Hanafi, dalam wawancara Kompas pada hari yang sama, mengklaim: “80% kasus, termasuk 3.200 pasangan suami-istri, telah diselesaikan per 19 Mei.” Namun, lansia dan disabilitas masih menghadapi kendala logistik, menandakan masalah belum sepenuhnya beres.
Dr. Mohammed menjamin kerja sama Saudi hingga semua jemaah tergabung, sementara Komisi VIII DPR RI, dikutip Detik pada 19 Mei, mendesak evaluasi menyeluruh sistem syarikah untuk musim haji 2026.
Netizen di X mencerminkan keresahan dan harapan. Pengguna seperti @yunankingstar1, mengutip SINDOnews pada 16 Mei, menyalahkan travel Indonesia atas kekacauan data, menyebut syarikah hanya sistem yang netral. @MetaraNews, dengan nada emosional, menceritakan protes jemaah Kediri yang istri mereka terpisah dari suami, menuntut Kemenag lebih tegas.
Sebaliknya, @e100ss memuji kecepatan PPIH, menyebut edaran 24 jam sebagai angin segar, meski menekankan perlunya evaluasi jangka panjang. Suara-suara ini mencerminkan campuran frustrasi dan optimisme di tengah upaya penyelesaian.
Ke depan, Kemenag RI didesak memperbaiki koordinasi dengan syarikah, termasuk melatih travel lokal untuk menghindari kekacauan serupa. Sistem syarikah, meski menjanjikan, membutuhkan data terintegrasi untuk sukses.
Dengan penanganan yang masih berlangsung dan target penyelesaian sebelum puncak haji, Indonesia belajar pelajaran berharga dari musim haji 2025, di mana efisiensi tidak boleh mengorbankan kenyamanan jemaah.
What's Your Reaction?






