Dedi Mulyadi Luncurkan Program Kontroversial: Siswa "Gemulai" dan Bermasalah ke Barak Militer
Dedi Mulyadi kirim siswa bermasalah & gemulai ke barak militer untuk karakter.

Bandung, - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulaydi kembali mencuri perhatian publik dengan kebijakan barunya yang kontroversial. Mulai 2 Mei 2025 kemarin, ia meluncurkan program pelatihan karakter berbasis militer untuk siswa yang bermasalah, seperti pernah terlihat tawuran, geng motor, atau perilaku sulit dibina.
Tak hanya sampai disitu saja, Dedi juga mengusulkan untuk mengikutsertakan siswa yang disebutnya "gemulai" serta warna bermasalah, seperti preman, ke barak militer guna membentuk karakter yang lebih disiplin dan "tegap".
Awal Mula Program dan Pelaksanaannya
Program ini resmi dimulai dengan mengirim 69 siswa dari Bandung dan Purwakarta ke barak militer untuk menjalani pelatihan selama 6 bulan hingga 1 tahun.
Menurut Gubernur Jabar tersebut, pelatihan ini melibatkan kerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Selama di bawak, siswa tetap mendapatkan pendidikan akademik dari guru sekolah asal mereka, sehingga proses belajar tidak terganggu.
Lebih lanjut, Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa program ini terinspirasi dari model pendidikan semi-militer, seperti yang diterapkan di sekolah Taruna Nusantara atau pelatihan Paskibra.
Ia kembali menegaskan bahwa pelatihan dilakukan dengan persetujuan orang tua dan sekolah, sehingga tidak melanggar hak anak.
"Kami ingin membentuk generasi yang disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki moral yang kuat," ujar Dedi dalam keterangannya kepada media.
Kontroversi Istilah "Gemulai"
Salah satu aspek yang paling memicu kontroversi adalah rencana Dedi untuk melibatkan siswa yang ia sebut "gemulai".
Istilah ini merujuk pada siswa (laki-laki) dengan gestur atau perilaku yang dianggap kurang maskulin, dengan tujuan pelatihan untuk membuat mereka lebih "tegap".
Usulan ini muncul setelah Gubernur Jabar itu menerima masukan dari media sosial, meskipun ia menyatakan bahwa fokus utama saat ini adalah siswa bermasalah, dengan siswa "gemulai" sebagai kemungkinan di masa depan.
Penggunaan istilah "gemulai" menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mempertanyakan sensitivitas kebijakan ini, menyebutkan berpotensi mendiskriminasi siswa berdasarkan ekspresi diri atau stereotip gender.
"Pendekatan seperti ini bisa berdampak buruk pada kesehatan mentah anak dan menciptakan stigma," ungkap seorang komisioner Komnas HAM.
Perluasan ke Warga Bermasalah
Selain siswa "gemulai", Dedi Mulyadi juga berencana memperluas program ini ke "warga bermasalah", seperti preman atau seseorang yang mengganggu ketertiban masyarakat.
Menurutnya, pelatihan militer dapat menjadi solusi untuk merehabilitasi perilaku mereka. Program ini akan dilaksanakan secara bertahap, dimulai dari daerah dengan tingkat kenakalan tinggi, seperti Bandung dan Purwakarta.
Namun, kriteria seleksi peserta menuai sorotan. Dedi menyebutkan bahwa siswa yang sering bermain game, seperti Mobile Legends, atau memiliki kebiasaan bangun siang, juga bisa dikategorikan sebagai "bermasalah".
Kriteria ini dianggap terlalu subjektif dan berisiko memicu penyalahgunaan wewenang.
Artikel Terkait: Ancam Dedi Mulyadi, Hina Sutiyoso dan Bentrok dengan Gatot Nurmantyo, Ini Sosok Hercules
Dukungan dan Kritik dari Publik
Meski kontoversial, program ini mendapat dukungan dari beberapa kalangan, terutama orang tua yang merasa kesulitan mendidik anak-anak mereka.
Menteri Pertahanan, Sjafri Sjamsoeddin, juga menyatakan tidak mempersoalkan kebijakan ini, asalkan sesuai dengan aturan hukum dan tidak melanggar hak asasi.
"Pendekatan disiplin militer sudah lama diterapkan di banyak institusi pendidikan," imbuh Menhan.
Di sisi lain, sejumlah pakar pendidikan dan psikologi menyarankan pendekatan yang lebih humanis, seperti konseling atau program rehabilitas berbasis komunitas.
"Anak-anak bermasalah sering membutuhkan dukungan emosional dan psikologis, bukan sekadar disiplin fisik." ungkap seorang psikolog anak dari Universitas Indonesia.
Tantangan ke Depan
Keberhasilan program ini masih menjadi tanda tanya besar. Belum ada data empiris yang menunjukkan efektivitas pelatih militer dalam membentuk karakter jangka panjang.
Selain itu, risiko lingkungan barak yang ketat terhadap kesejahteraan psikologis anak juga perlu dievaluasi.
Publik kini menanti langkah Dedi Mulyadi selanjutnya, terutama terkait rencana pelatihan siswa "gemulai" yang masih samar.
Dengan sorotan yang terus mengalir, kebijakan ini mengundang diskusi luas tentang pendekatan terbaik dalam mendidik generasi muda.
Apakah pelatihan militer adalah solusi, atau justru menciptakan masalah baru?
What's Your Reaction?






